Friday, June 16, 2006

My Merapi..

Membaca Kompas hari ini dan kemarin, duuuh sedih juga ya. Judulnya besar, "Awan panas ratakan Kali Adem"....

Kawasan Kali Adem itu salah satu tempat favorit saya. Dan arah awan panas yang kali ini memang agak lain dari biasanya, hingga daerah Kali Adem dan Kali Tengah, yang sudah berpuluh-puluh tahun aman damai tenteram dari ancaman Merapi, kini terkena dampak cukup parah.

Buat yang belum tau, Kali Adem dan Kali Tengah adalah dua wilayah yang mengapit sisi kiri dan sisi kanan dari Kali Gendol (salah satu sungai yang hulunya di kaki Gunung Merapi). Di kedua tempat itu terdapat bumi perkemahan yang cukup sering digunakan, termasuk dipakai oleh almamater dulu.

Jadi, demi kenangan akan indahnya tempat favorit saya itu, semalam saya mengaduk-aduk koleksi foto-foto waktu ikut kemah ataupun sekedar main ke sana untuk memandang Merapi, my mountain... (duh, kok ngaku-ngaku yaa, biarin dech :p)

I found this.....
Photobucket - Video and Image Hosting

foto ini yang motret sapa yaa...

Ini foto diambil di Kali Tengah, kayaknya tahun 1996, bareng temen-temen SMA. Liat aja wajahnya masih culun2 :p Yang di latar belakang itu adalah Gunung Merapi (duuuh cantik banget gunungnya), trus kalau cukup jeli mengamati (meski tertimpa bayangan jadi kurang jelas), di belakang kami itu adalah jurang alias tebingnya Kali Gendol. Yang di seberang kali itulah kawasan Kali Adem....

Saya punya foto-foto lain lagi di Kali Adem, but belum sempet di-scan nih (hehehe waktu ituh blum ada kamera digital :p), kapan2 diposting di sini.

Aaah, seperti apaaaa Kali Adem sekarang yaa... terakhir kali ke sana tahun 2004. Masih ingat angin semilirnya, angin yang sejuk and segar... Duduk di Pendopo, menatap Merapi yang kliatannya lagi tidur nyenyak. Jalan ke tepi tebing, ngeliat ke bawah (hmmm dalamnya mungkin 10 - 20 meter ya) ada yang lagi ngangkut pasir.... memandang ke seberang, yang hijau rimbun.... Indah and damai banget...

Yaaaah, tak ada yang abadi... Sekarang, pendopo kabarnya tertimbun lahar, warung-warungnya pada rusak, hutan-hutan terbakar, dan Kali Gendol yang dalam itu penuh terisi pasir dan batu-batu besar. Mudah-mudahan tak ada korban jiwa. Mungkin, Allah kasih kita pasir yang banyak supaya mereka yang musti bangun rumah yang roboh karena gempa jadi punya banyak suplai pasir dan batu.... hmmm...

Kapan yaa bisa ke Kali Adem lagi.... "Insya Allah tahun depan Kali Adem udah hijau lagi...," katanya. Amien...

Tuesday, June 13, 2006

Selamat Jalan Ibu Nila…..

Sore kemaren kami dikagetkan dengan berita duka, Ibu Nila Damitri Kelan telah meninggal dunia di Pasuruan, Jawa Timur. Innalillahi wa innailaihi rojiun… semua milik-Nya dan akan kembali pada-Nya….

Kenangan terakhir saya pribadi dengan Bu Nila adalah pada saat acara ini.

Sosok Bu Nila buat saya adalah pribadi yang ramah, baik hati, enerjik, dan rendah hati. Beliau selalu dengan senyum lebarnya, tak lupa cium pipi kiri dan kanan. Sosok yang disayangi anak buah dan dihormati sejawatnya. Betapa banyak yang hadir mengantarkan jenazah beliau di rumah duka tadi........

Keluarga besar beliau, keluarga besar BPPT, dan juga dunia otomotif tentu merasa sangat kehilangan sosok beliau. Selamat jalan Ibu Nila, semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT, diterima segala amal, diampuni segala dosa, dan ditabahkan bagi yang ditinggalkan. Amien....

Photobucket - Video and Image Hosting
Senyum Ibu Nila kan selalu kukenang...

Monday, June 12, 2006

Kurang-Informasi, Miss-Informasi, Kebanjiran-Informasi

Di jaman yang sering disebut-sebut era informasi ini, bisa dikatakan kita bisa mendapatkan informasi dari mana saja. Dari buku, dari koran, dari majalah, dari tabloid, dari radio, dari tivi, dari internet, maupun jenis pertukaran informasi cara konvensional yaitu dari cerita mulut ke mulut. Yah, cara konvensional ini tentu saja paling berlaku karena tidak setiap orang bisa mendapat akses yang sama akan informasi. Tingkat kepercayaan seseorang terhadap informasi yang diterimanya juga berbeda-beda, tergantung tingkat subjektifitas dan objektifitas seseorang.

Seperti misalnya, menanggapi isu adanya tsunami setelah gempa di Jogja tanggal 27 Mei 2006 yang lalu. Masyarakat yang tinggal di pedesaan maupun di kota, yang nota bene semestinya mendapat informasi lebih banyak dari pada yang tinggal di pedesaan, ikut tersulut dan panik. Tentu saja, setelah selama beberapa bulan pasca bencana tsunami di Aceh, hampir tiap orang terpapar oleh tayangan di televisi betapa dahsyatnya air bah yang datang itu. Informasi dari televisi itu telah membombardir pikiran dan alam bawah sadar masyarakat. Mereka dibanjiri informasi berupa tayangan kengerian, berupa gambar peristiwa, yang sepanjang ingatan saya tanpa banyak disertai penjelasan yang memadai kondisi geografis wilayah Aceh yang terkena tsunami (± sampai jarak 5 km dari pantai), tanda-tanda datangnya tsunami, maupun hal-hal yang dapat menyebabkan tsunami. Di bangku sekolah pun informasi tentang berbagai bencana alam yang mungkin terjadi di Indonesia tidak tercantum di buku diktat, setidaknya di buku-buku dulu saya punya jaman sekolah. Informasi yang diperoleh menjadi tidak seimbang. Yang kemudian terjadi adalah kurang informasi dan salah informasi. Sumber informasi yang beredar kebanyakan adalah ”katanya....” Masih bagus lah kalau mereka-mereka yang tinggal di kota atau suka membaca atau browsing di internet sehingga punya informasi lebih. Itu pun tak menjamin seseorang untuk tidak tersulut isu. Melihat kepanikan orang lain yang berlari-lari, bukan tak mungkin secara seketika kita akan terbawa arus kepanikan tersebut.

Itu hal yang sangat mungkin karena sebenarnya tak hanya rakyat Aceh, tapi seluruh masyarakat mengalami trauma yang dalam atas bencana tsunami di Aceh, yang belum tersembuhkan karena kurangnya informasi yang diperoleh. Sehingga selain penyembuhan secara psikologis, secara tindakan nyata perlu diberikan informasi yang benar, baik secara formal melalui jalur pendidikan maupun informal yaitu melalui media massa.

Hal yang lain misalnya dengan gegap gempitanya Pemerintah dengan pengembangan Biofuel. Sungguh hal ini merupakan hal yang amat disyukuri bahwa pemerintah telah melangkah untuk menghidupkan energi alternatif. Jika kemudian hampir tiap hari muncul berbagai berita di banyak media cetak dan televisi tentang hal ini, tentunya ini hal yang menggembirakan. Akan tetapi, hal tersebut sekali lagi dapat menjadi bentuk kebanjiran informasi yang berujung pada kurang informasi dan miss-informasi, karena kurang berimbangnya informasi yang diperoleh masayrakat. Ketika ada beberapa ahli maupun pejabat pemerintah dan perusahaan mulai sering berbicara di koran dan tivi, tak jarang kontroversi pun terjadi. Orang bisa dengan mudah mengatakan ”A baik dan B jelek”, atau ”B lebih baik dari C jadi pakailah B”, atau ”saya sudah pakai A dan mobil saya tidak rusak, jadi A yang paling baik”. Lalu masyarakat yang mendengar para pejabat dan beberapa ilmuwan bicara jadi beramai-ramai ingin terjun ke dalam bisnis tersebut. Masih bagus kebanyakan dari mereka, yang bisa jadi sedang ber-euforia itu, memutuskan untuk memcari informasi dahulu dengan bertanya sana sini. Informasi yang didapat pun bisa bermacam-macam, tergantung bertanya kepada siapa. Lalu mana kah yang benar? Bisa jadi semua benar, jika sudah didukung dengan pembuktian dan data-data yang diakui kebenarannya. Karena setiap orang memiliki subjektifitas dan objektifitasnya masing-masing, yang tanpa pembuktian yang ilmiah, kejujuran terhadap hasil, dan analisa yang baik terhadap informasi yang diperoleh, semua kata-kata menjadi tak berarti.

Barangkali, itu kemudian berpulang pada bagaimana kita menyikapi sebuah informasi yang datang pada kita, plus kemauan kita untuk mencari informasi, yang benar :) Seperti kata seorang Profesor menyikapi berbagai kontroversi yang sahut-menyahut tersebut, ”Only God we trust, the rest should bring the data.”


Terima kasih buat Bapak (dan seseorang :)), yang membuat saya merenung tentang objektifitas, buat Pak Wahyudi yang pernah ngajari saya untuk mencari jawaban, Pak Tirto atas wejangannya untuk jujur terhadap hasil, dan Pak Ari yang selalu bertanya, “Ini refference-nya dari mana, Ran?” Dear Sirs, saya masih terus belajar pak……

Thursday, June 01, 2006

Life's so short….

Saat itu saya sedang tidur-tiduran di kamar sehabis sholat subuh. Masih ngantuk, maklum deh malamnya ngga bisa tidur karna batuk-batuk kedinginan ama hawa Jogja. Tiba-tiba…grukgruk krek krek…lemari goyang kiri kanan! Rumah goyang! Prang ! gelas di meja saya jatuh pecah. Gempa !!! Langsung saya lari keluar kamar. Sempat jatuh terpleset air kolam yang tumpah karna gempa. Saya liat adik saya sedang memeluk erat Bapak sambil teriak-teriak. Saya coba bangkit sambil nyari2 Ibu yang belum kliatan. . Piring terbang dari dalam lemari. Lampu jatuh dari atas. Listrik padam. Panik ! Alhamdulillah goncangan segera reda. Ibu lari dari dapur setelah matiin kompor (untuuuung masih ingat matiin kompor) Kami segera keluar rumah. Saya sempat meraih handphone. Sampe di luar, saya coba telpon untuk cari informasi, tapi sama sekali tidak bisa. Akhirnya saya kirim sms saja pada seseorang untuk segera melihat ada berita apa. Belum ada kabar, berita simpang siur. Kami berkumpul dengan para tetangga, sama-sama shock dan panik.

Sekitar jam 7 tiba-tiba ada kabar air sudah dekat. Hmmm kami berempat saling berpandangan. Ah sepertinya tak mungkin ya tsunami, kan kami 30 km dari pantai. Ibu yang paling panik minta mengungsi. Tapi akhirnya kami tetap di rumah. Barangkali karna kami tidak tinggal di tepi jalan besar jadi ngga terpengaruh panik massa. Tak dinanya mereka yang di jalan sudah demikian panik berlomba melarikan diri ke utara. Situasi panik mereda tak lama kemudian. Tetap masih belum ada kabar yang jelas. Listrik masih mati sementara batre hp-ku mulai habis :(

Beberapa kali terjadi gempa susulan. Baru sore hari jam 5an listrik menyala lagi dan kami bisa melihat berita di TV. Innalillahi wa innailaihi roji’un....demikian hancur kondisi Jogja dan Bantul.... Ya Allah ampunilah kami....

Saya segera sms teman2 yang punya rumah atau tinggal di Bantul atau daerah gempa lainnya. Masya Allah, rumah Lia, Jaka, Toto, Cak, dan Sinung hancur.... Sedangkan Sigit dan Winarto rusak sebagian....

Hari Senin kami sempatkan keliling ke rumah saudara2 Bapak dan Ibu yang juga kena musibah. Alhamdulillah rumah Pakde dan kakak-kakak sepupu ”hanya” retak2 dan genting beterbangan. Tapi banyak rumah tetangga mereka yang hancur baik pada saat gempa pertama maupun setelah diguncang beberapa kali gempa susulan. Tak ada yang berani tidur dalam rumah yang retak. Dan karna lokasi desa mereka masih masuk ”ring 2” (masih masuk Jogja pinggiran), bantuan justru tidak diperoleh karena kebanyakan menuju arah Bantul. Segera kami cari toko apapun yang buka untuk membeli sembako apa saja, sambil kontak temen2 di Jakarta untuk menggalang bantuan.

Dari desa Pakde saya, kami menuju desa Eyang, mengunjungi keluarga Om dan Bulik-Bulik di Banguntapan. Alhamdulillah semua selamat. Tetapi rasa trauma sangat menyakitkan. Tak ada yang mau tidur dalam rumah, terlebih lagi gempa susulan masih sangat terasa. Dan karena listrik masih padam, tiap malam para lelaki di kampung setempat meronda. Rumah peninggalan Eyang retak-retak dan garasi milik Om roboh sebagian. Tapi beberapa rumah tetangga hancur total.

Kami juga mampir ke SMK Muhammadiyah 3 dan Politeknik Muhammadiyah di Giwangan. Aduuuh ini juga retak parah...tak memungkinkan untuk kegiatan belajar mengajar.....

Gempa yang terjadi di Jogja pada Sabtu yang lalu benar-benar telah menghancurkan Jogja, terutama daerah Bantul...

Hari Selasa, bersama kawan saya Lia yang baru datang dari Jakarta membawa barang-barang serta dana bantuan menuju Imogiri. Kami ditemani Budi, salah satu mantan murid Bapak di SMK Muh 3, yang desanya di Mojohuro, Imogiri, juga hancur. Salah satu kakeknya meninggal akibat gempa, sedangkan ibunya terluka sehingga harus dirawat di RS Jebukan Bantul. Setelah mewawancarai Budi mengenai barang-barang apa yg paling dibutuhkan desanya, saya sempatkan belanja. Kemudian kami berangkat.

Pemandangan sepanjang jalan sangat memilukan..... saya tak sanggup berkata-kata... selain ber-takbir dan ber-istighfar... Yang terjadi di rumah saya? Aaah bisa dibilang sangat minor sekali. Beberapa kali Lia menyeka matanya. Sudah banyak posko berdiri di sepanjang jalan menuju Imogiri, tapi apakah desa yang jauh dari jalan raya dapat terjangkau bantuan?? Akhirnya kami sampai juga di desa Lia, di Demi, Imogiri. 90 % hancur. Ingin nangis, tapi melihat ketabahan mereka rasanya tangis kami tak ada gunanya. Segera kami turunkan barang dari mobil. Saya dan Lia berpegangan tangan saat berjalan menuju rumah Lia... ”Aaah, udah ku-ikhlas-in rumahku Ran....” Paklik dan Bulik-nya Lia termasuk korban yang meninggal.

Setelah itu kami menuju Mojohuro. Di perjalanan saya lihat ada posko besar di kiri jalan dan sebuah mobil dari salah satu TV swasta parkir di depannya. Kami jalan terus. Jangan berhenti di tempat yang sudah banyak bantuan di situ. Tujuan kami ke desa yang belum tersentuh ataupun masih minim bantuan. ”Itu rumah saya mbak, ”kata Budi menunjuk sebuah rumah yang tak berbentuk rumah lagi. ”Itu rumah kakek saya,”katanya lagi. Rumah itu hampir rata. Dia menunjuk sebuah rumah lagi, ”Itu rumah temen saya mbak, dia udah dikuburkan kemarin minggu.” Innalillahi... betapa dalam duka di wajahnya dan para korban yang ditinggal oleh sanak saudaranya. Umur manusia siapa menyangka... Hidup begitu singkat...

Kami meninggalkan jalan aspal dan masuk jalan tanah. Ups...Amenity ini sanggup ga ya...Bismillah deh... Akhirnya kami sampai ke desa Mojohuro. 99% hancur. Alhamdulillah desa ini cukup terkoordinir. Pengungsi berkumpul di satu area dan bantuan yang datang dicatat. Beras mereka tinggal dua ember kecil :( belum ada bantuan pemerintah yang masuk, baru beberapa dari perorangan. Segera kami sampaikan maksud kami dan menanyakan hal-hal yang masih kurang. Masuk dalam daftar belanja kami : senter (untuk penerangan ronda malam hari) dan ponco/mantel hujan (untuk para peronda karena malam hari sering hujan).

Dari Mojohuro kami ke rumah Jaka, masih Kec. Imogiri juga. Oh, desanya tak kalah menyedihkan. Rumah Jaka masih berdiri sebagian, tapi retak dengan parah dan jelas tidak mungkin ditempati lagi :( Dari desa Jaka kami menuju RS Jebukan Bantul untuk menengok ibunya Budi, melewati Kec. Jetis. Pemandangan di Jetis lebih memilukan lagi, jauh lebih parah kerusakan rumahnya. Tak terbayangkan sungguh, bagaimana nasib penghuninya. Memasuki RS tersebut, terlihat pasien berjajar-jajar. Saya dan Lia berjalan sambil berangkulan dan berdoa agar semua ditabahkan. Kami sampai di tempat Ibunya Budi dirawat di sebuah tenda, bersama beberapa kerabatnya yang juga dirawat. Seluruh keluarganya berkumpul di situ. Yang terlihat adalah wajah-wajah trauma, luka lahir dan batin. Budi sendiri mengaku kapok tidur, karena takut ketika tidur ada gempa susulan dan tak sempat menyelamatkan keluarganya. ”Saya masih kebayang-bayang jeritan Ibu dan adik saya.”

Lalu kenapa kami dan banyak lagi kelompok-kelompok seperti kami musti ikut terjun juga? Seperti grup temen saya Kartini yang membantu desa kenalannya di pelosok Imogiri atau grupnya Fikri yang membantu desa tukang batu kenalannya di Pundong atau grup adik saya yang membantu desa teman kuliah mereka di Jetis dan Pundong. Tak lain karena bantuan cukup lambat sampai secara merata hingga pelosok-pelosok karena terhambat birokrasi. Mungkin minggu ini baru sampai tingkat kecamatan, baru minggu kedua atau ketiga baru mulai merata. Mudah-mudahan bantuan segera lancar. Sementara menunggu itu kan mereka yang di pelosok tetap butuh makan... dan butuh perhatian untuk menyembuhkan luka hati.

Penyembuhan mereka memerlukan waktu, dan tentunya memerlukan bantuan dari kita semua. Insya Allah niat baik dan tindakan kita-kita yang masih lebih sehat daripada mereka dapat sedikit meringankan penderitaan. Saya pengen ngucapin banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung bagi para korban tersebut. Semoga kita semua senantiasa diberi kesabaran dan ketabahan, amien....