Friday, August 26, 2005

STEALTH (Part 1)

Well, sebenarnya nontonnya dah agak lama sih tapi saya teringat lagi film itu setelah mengikuti presentasi salah satu software simulasi awal minggu ini.

Stealth menceritakan tiga pilot pesawat super canggih milik Amerika Serikat yaitu Ben, Kara, dan Henry. Pesawat yang punya selimut anti radar itu begitu canggihnya dengan perangkat komputer yang aduhai, bisa menganalisis situasi peperangan, memberi saran mau pakai senjata apa, trus bisa terbang dengan kecepatan hipersonik.
Dan pilot yang menerbangkannya pun hanyalah pilot-pilot pilihan hasil seleksi super ketat! Hehehe…bagus juga, mereka bertiga adalah seorang lelaki kulit putih, seorang wanita, dan seorang lelaki kulit hitam, yeah...cukup adil :)

Anyway, ketenangan mereka terusik dengan hadirnya the fourth wing man, sebuah pesawat yang lebih dari super canggih, stealth yang bisa terbang tanpa awak. Pesawat itu bernama EDI. Yang kemudian menjadi perdebatan adalah kelayakan sebuah mesin dilengkapi otak komputer alias artificial intelligence untuk turut berperang. “Secanggih apapun, mesin tidak seperti manusia, yang memiliki pertimbangan moral ketika terjun dalam peperangan, “ begitu argumen Ben. Dan itu terjadi lah. Ketika ketiga pilot memutuskan membatalkan serangan ke Tajikistan (heran deh, kenapaaaa yaaa negara ini yang dipilih) yang diketahui memiliki hulu ledak nuklir, setelah mengetahui dampaknya adalah penyebran debu radioaktif di pemukiman petani yang tak bersalah, ehhh…EDI bersikukuh menyerang sehingga terjadi bencana. Meskipun di akhir film dikisahkan bahwa EDI bisa merasa menyesal…hmmm…still debatable. Yeah, movie…

Dan bagaimana dengan software-software simulasi proses yang canggih itu? Di dunia teknik kimia dan engineering pada umumnya, bertebaran software berbagai merk. Masing-masing punya keunggulan, yang tentu bias membuat terheran-heran karena kecepatannya berpikir. Sangat menghemat waktu ! Orang jadi punya harapan tinggi bahwa software bias melakukan apa saja, kalau sudah punya software itu semua masalah teratasi. Tidak perlu bikin program sendiri, oh senangnya!

Well, pastinya software itu diciptakan untuk mempermudah manusia, membantu menghitung, menguji performa peralatan yang ada, dan keluarlah result alias hasil simulasi. Tapi secanggih apapun software, tetaplah manusia yang mengoperasikannya yang harus menganalisis dan mengambil tindakan atas hasil simulasi itu. Oke deh, sudah dapat nih hasilnya simulasi Kolom Distilasi misalnya, dapat sekian jumlah tray, diameter sekian, aliran sekian, so what? Bisakah kolom distilasi itu berjalan sesuai keinginan jika dioperasikan?
Apa gunanya software simulasi canggih jika FUNDAMENTAL yang mendasari tiap peralatan dan proses didalamnya tidak dikuasai?

It’s all just tool, it’s just a gun, and still depends on ‘The man behind the Gun’….

Don’t stop learning, don’t stop reading my dear friend….

Tuesday, August 02, 2005

WAITING TIME

Belum lama ini sebuah pertanyaan datang pada saya dalam sebuah ‘survey’ yang diadakan almamater untuk mendata alumni, yaitu, “Berapa waiting time anda?” Wah segera saya bisa langsung jawab : TUJUH bulan :)
Waiting time di sini adalah waktu tunggu yang dihitung dari saat wisuda sampai pertama kali memperoleh pekerjaan (mendapat pekerjaan diartikan sebagai kerja di office, kerja di plant, kerja di field, or menjadi entrepreneur).

Tentu saja saya ingat betul, saat-saat yang pernah saya lalui dengan penuh perjuangan itu hehehe… Saat-saat yang cukup menguji kesabaran dan ketahanan mental. Konon, sepintar atau seaktif apa pun waktu kuliah, jika tidak cukup kuat ya bisa patah semangat juga loh menghadapi masa-masa menjadi pengangguran. Itu karena ada beberapa hal yang cukup ‘mengganggu’, misalnya :
- kenyataan yang harus diterima bahwa ‘Äku bukan mahasiswa lagi!!!’ Uwaaa…padahal jadi mahasiswa tuh kayaknya enak banget, punya jadwal yang jelas, banyak temen ngerumpi, ada yang saling dikeluhkan (misalnya ‘aduuuuh program reaktorku ga jadi-jadi neh’ hehehe…). Setelah sekian lama berada di zona aman, kini berada di zona yang serba tidak pasti!
- kenyataan bahwa sebagai “Sarjana’ menyandang harapan dari orang-orang di sekeliling kita : orang tua, saudara, tetangga, teman-teman, mantan dosen. Sepertinya mereka sangat ingin kita segera mengamalkan ilmu dan jadi orang yang berguna….*hmmmmfff*
- kenyataan bahwa status ‘sudah lulus’ akan segera mengundang pertanyaan berikutnya, “Wah, dah lulus yaaa? Sekarang kerja di mana??” Mau ngga mau, harus selalu siap mental dengan pertanyaan yang penuh perhatian ini. Soalnya kadang kan mood kita ngga sama. Kalo mood lagi ok, bisa dengan santai dijawab, “Wah, belum neh, doakan yaaa…” tapi kalau habis menerima ‘surat cinta’ penolakan atau habis menghadapi interview yang gagal, ughhh…bikin tambah down aja deh :p

Beruntung sekali, dalam masa penantian itu saya menemukan banyak hal yang cukup mencerahkan hari-hari saya.
Kala itu setelah wisuda, saya disibukkan dengan aktifitas persiapan pernikahan kakak, yang cukup banyak menyedot waktu-waktu awal sebagai pengangguran. Meski sering mengaku punya pekerjaan sebagai sopir pribadi, sebenarnya saat itu saya pura-pura mengeluh. Soalnya saya suka nyetir dan tak urung kegiatan itu saya rindukan juga sekarang :) Selama sibuk jadi wedding planner itu, tak ada satupun panggilan wawancara. Eh, baru seminggu kelar acara, alhamdulillah ada panggilan. Rejeki jadi panitia kali ya hehehe…

Yang tak boleh dilupakan adalah temen senasib alias sesama job seeker. Sohib-sohib saya kebetulan lulus bareng. Tapi juga jadi kenal temen dari berbagai angkatan loh. Lumayan, bisa saling menghibur, saling dukung kalau lolos tahap berikutnya, dan saling tukar info lowongan. Seru juga loh, rame-rame ikutan tes tertulis yang aduh susahnya, trus rame-rame juga mengejar kesempatan interview sampe ke ujung dunia (maksudnya sih pengalaman bertujuh interview ke daerah yang kita buta sama sekali hahaha…seru deh).

Sejak melepas status mahasiswa, saya jadi hobi ke warnet (di Jogja warnet ada di mana-mana deh!). Bisa tiap hari loh, jadi boros sih memang, but it’s worth lah. Saya mendapatkan dukungan dan penghiburan dari kawan dan kerabat yang nun jauh di sana. Yeah, saya menemukan bahwa membuka diri selalu lebih baik daripada mengisolasi diri karena takut ditanya ‘sudah kerja belum’ hehehe… Kalau ditanya begitu, trus kita jawab belum, nah… siapa tahu ditawarin kerjaan yang oke punya :p Minimal, selain silaturahmi, bisa jadi ada informasi lowongan pekerjaan deh (makasih yaaa mas dan mbak, yang udah bantu saya lewatin masa-masa itu. :D)

Suatu hari, saya nemu buku di lemari Bapak, buku yang ‘menyelamatkan saya’!!! “Seven Habits of Highly Effective People” karangan Stephen R. Covey, membuat saya rajin membuat rencana, mengejar tujuan dengan penuh strategi, …yeah, membuat saya berpikir lebih positif. (Yang belum pernah baca, harap segera baca!!) Ugh, sebel juga saya ngerasa telat banget baca buku itu, but better late than never deh.

Hidup Kita dikelilingi oleh Hal-hal yang sepenuhnya kita control atau kita pengaruhi, hal-hal yang setengah kita control atau dipengaruhi orang lain, dan hal-hal yang di luar control kita. Focus on the things you can control!

What a powerful words! Tambah semangat aja deh.
Tapi….uhuuu…kok, ga dapet-dapet kerja juga ya? Beberapa kali, saya gagal padahal dah tahap akhir. Jenis perusahaan yang saya incar, kok menolak saya di posisi itu yah, uh sebel…. But justru pertanyaan-pertanyaan di tahap akhir itu bikin saya mikir, apa saya salah jalur ya? Apalagi pas wawancara di salah satu perusahaan, pewawancaranya dengan lihai menggiring saya pada pertanyaan, “Kenapa kamu milih Teknik Kimia?” yaaa…dengan semangat, saya jelaskan blablabla…. Eh dia langsung menohok saya, “Lho, kalau gitu, kenapa kamu apply untuk posisi ini, yang ngga ada Teknik Kimia-nya sama sekali?” Hegh…telak banget! Saya masih berusaha ngeles sih, tapi pulang dari sana saya tak bisa berhenti mikirin pertanyaan tadi. Wah jangan-jangan saya memang salah jalur nih!!

Kira-kira dua minggu dari sana, saya ketemu ‘Guru’ saya dan cerita tentang karier sebagai job seeker yang gagal melulu, ehmm… Rupanya beliau punya pikiran yang hampir sama : salah jalur! “Kamu kan suka kegiatan engineering, kenapa tidak apply ke perusahaan engineering?” Dor! Saya merasa bego banget (upsss maapin kosa kata saya yak!). Pilihan itu selama ini ga saya seriusin, tapi semakin saya pikirkan, well, kelihatannya itu yang paling masuk akal. Saya gak bisa bohong (yeah, para interviewer sebelumnya kayaknya lebih dulu tau kalo saya bohong waktu ngaku bahwa saya amat sangat tertarik dengan kerjaan yang mereka tawarkan hehehe…namanya juga usaha). Mulai deh berburu lagi dengan semangat, tapi pindah haluan.

Well, saya menemukan bahwa saya suka banget sama “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”, bahwa Sang Maha Pengasih menuntun saya melalui suatu jalan menuju ke suatu tempat. Dia Tahu. Jalan orang menuju ke sana tidak sama, dan tempatnya pun berbeda-beda. Tapi Dia Tahu.
Sampai akhirnya saya mendarat dengan selamat di sini :) Alhamdulillah…. Waiting Time tiap orang berbeda-beda toh, ada yang 2 bulan, 4 bulan, 10 bulan, 1 tahun, lebih atau bahkan minus (maksudnya belum wisuda dah dapet kerja gitu). Tujuh bulan? Jakarta? Alhamdulillah deh…. :D

NB :
1. Dipersembahkan untuk para jobseeker di luar sana, Jangan Pernah Menyerah yaaa :)
2. Ini juga buat ngingetin diri sendiri