Saat itu saya sedang tidur-tiduran di kamar sehabis sholat subuh. Masih ngantuk, maklum deh malamnya ngga bisa tidur karna batuk-batuk kedinginan ama hawa Jogja. Tiba-tiba…grukgruk krek krek…lemari goyang kiri kanan! Rumah goyang! Prang ! gelas di meja saya jatuh pecah. Gempa !!! Langsung saya lari keluar kamar. Sempat jatuh terpleset air kolam yang tumpah karna gempa. Saya liat adik saya sedang memeluk erat Bapak sambil teriak-teriak. Saya coba bangkit sambil nyari2 Ibu yang belum kliatan. . Piring terbang dari dalam lemari. Lampu jatuh dari atas. Listrik padam. Panik ! Alhamdulillah goncangan segera reda. Ibu lari dari dapur setelah matiin kompor (untuuuung masih ingat matiin kompor) Kami segera keluar rumah. Saya sempat meraih handphone. Sampe di luar, saya coba telpon untuk cari informasi, tapi sama sekali tidak bisa. Akhirnya saya kirim sms saja pada seseorang untuk segera melihat ada berita apa. Belum ada kabar, berita simpang siur. Kami berkumpul dengan para tetangga, sama-sama shock dan panik.
Sekitar jam 7 tiba-tiba ada kabar air sudah dekat. Hmmm kami berempat saling berpandangan. Ah sepertinya tak mungkin ya tsunami, kan kami 30 km dari pantai. Ibu yang paling panik minta mengungsi. Tapi akhirnya kami tetap di rumah. Barangkali karna kami tidak tinggal di tepi jalan besar jadi ngga terpengaruh panik massa. Tak dinanya mereka yang di jalan sudah demikian panik berlomba melarikan diri ke utara. Situasi panik mereda tak lama kemudian. Tetap masih belum ada kabar yang jelas. Listrik masih mati sementara batre hp-ku mulai habis :(
Beberapa kali terjadi gempa susulan. Baru sore hari jam 5an listrik menyala lagi dan kami bisa melihat berita di TV. Innalillahi wa innailaihi roji’un....demikian hancur kondisi Jogja dan Bantul.... Ya Allah ampunilah kami....
Saya segera sms teman2 yang punya rumah atau tinggal di Bantul atau daerah gempa lainnya. Masya Allah, rumah Lia, Jaka, Toto, Cak, dan Sinung hancur.... Sedangkan Sigit dan Winarto rusak sebagian....
Hari Senin kami sempatkan keliling ke rumah saudara2 Bapak dan Ibu yang juga kena musibah. Alhamdulillah rumah Pakde dan kakak-kakak sepupu ”hanya” retak2 dan genting beterbangan. Tapi banyak rumah tetangga mereka yang hancur baik pada saat gempa pertama maupun setelah diguncang beberapa kali gempa susulan. Tak ada yang berani tidur dalam rumah yang retak. Dan karna lokasi desa mereka masih masuk ”ring 2” (masih masuk Jogja pinggiran), bantuan justru tidak diperoleh karena kebanyakan menuju arah Bantul. Segera kami cari toko apapun yang buka untuk membeli sembako apa saja, sambil kontak temen2 di Jakarta untuk menggalang bantuan.
Dari desa Pakde saya, kami menuju desa Eyang, mengunjungi keluarga Om dan Bulik-Bulik di Banguntapan. Alhamdulillah semua selamat. Tetapi rasa trauma sangat menyakitkan. Tak ada yang mau tidur dalam rumah, terlebih lagi gempa susulan masih sangat terasa. Dan karena listrik masih padam, tiap malam para lelaki di kampung setempat meronda. Rumah peninggalan Eyang retak-retak dan garasi milik Om roboh sebagian. Tapi beberapa rumah tetangga hancur total.
Kami juga mampir ke SMK Muhammadiyah 3 dan Politeknik Muhammadiyah di Giwangan. Aduuuh ini juga retak parah...tak memungkinkan untuk kegiatan belajar mengajar.....
Gempa yang terjadi di Jogja pada Sabtu yang lalu benar-benar telah menghancurkan Jogja, terutama daerah Bantul...
Hari Selasa, bersama kawan saya Lia yang baru datang dari Jakarta membawa barang-barang serta dana bantuan menuju Imogiri. Kami ditemani Budi, salah satu mantan murid Bapak di SMK Muh 3, yang desanya di Mojohuro, Imogiri, juga hancur. Salah satu kakeknya meninggal akibat gempa, sedangkan ibunya terluka sehingga harus dirawat di RS Jebukan Bantul. Setelah mewawancarai Budi mengenai barang-barang apa yg paling dibutuhkan desanya, saya sempatkan belanja. Kemudian kami berangkat.
Pemandangan sepanjang jalan sangat memilukan..... saya tak sanggup berkata-kata... selain ber-takbir dan ber-istighfar... Yang terjadi di rumah saya? Aaah bisa dibilang sangat minor sekali. Beberapa kali Lia menyeka matanya. Sudah banyak posko berdiri di sepanjang jalan menuju Imogiri, tapi apakah desa yang jauh dari jalan raya dapat terjangkau bantuan?? Akhirnya kami sampai juga di desa Lia, di Demi, Imogiri. 90 % hancur. Ingin nangis, tapi melihat ketabahan mereka rasanya tangis kami tak ada gunanya. Segera kami turunkan barang dari mobil. Saya dan Lia berpegangan tangan saat berjalan menuju rumah Lia... ”Aaah, udah ku-ikhlas-in rumahku Ran....” Paklik dan Bulik-nya Lia termasuk korban yang meninggal.
Setelah itu kami menuju Mojohuro. Di perjalanan saya lihat ada posko besar di kiri jalan dan sebuah mobil dari salah satu TV swasta parkir di depannya. Kami jalan terus. Jangan berhenti di tempat yang sudah banyak bantuan di situ. Tujuan kami ke desa yang belum tersentuh ataupun masih minim bantuan. ”Itu rumah saya mbak, ”kata Budi menunjuk sebuah rumah yang tak berbentuk rumah lagi. ”Itu rumah kakek saya,”katanya lagi. Rumah itu hampir rata. Dia menunjuk sebuah rumah lagi, ”Itu rumah temen saya mbak, dia udah dikuburkan kemarin minggu.” Innalillahi... betapa dalam duka di wajahnya dan para korban yang ditinggal oleh sanak saudaranya. Umur manusia siapa menyangka... Hidup begitu singkat...
Kami meninggalkan jalan aspal dan masuk jalan tanah. Ups...Amenity ini sanggup ga ya...Bismillah deh... Akhirnya kami sampai ke desa Mojohuro. 99% hancur. Alhamdulillah desa ini cukup terkoordinir. Pengungsi berkumpul di satu area dan bantuan yang datang dicatat. Beras mereka tinggal dua ember kecil :( belum ada bantuan pemerintah yang masuk, baru beberapa dari perorangan. Segera kami sampaikan maksud kami dan menanyakan hal-hal yang masih kurang. Masuk dalam daftar belanja kami : senter (untuk penerangan ronda malam hari) dan ponco/mantel hujan (untuk para peronda karena malam hari sering hujan).
Dari Mojohuro kami ke rumah Jaka, masih Kec. Imogiri juga. Oh, desanya tak kalah menyedihkan. Rumah Jaka masih berdiri sebagian, tapi retak dengan parah dan jelas tidak mungkin ditempati lagi :( Dari desa Jaka kami menuju RS Jebukan Bantul untuk menengok ibunya Budi, melewati Kec. Jetis. Pemandangan di Jetis lebih memilukan lagi, jauh lebih parah kerusakan rumahnya. Tak terbayangkan sungguh, bagaimana nasib penghuninya. Memasuki RS tersebut, terlihat pasien berjajar-jajar. Saya dan Lia berjalan sambil berangkulan dan berdoa agar semua ditabahkan. Kami sampai di tempat Ibunya Budi dirawat di sebuah tenda, bersama beberapa kerabatnya yang juga dirawat. Seluruh keluarganya berkumpul di situ. Yang terlihat adalah wajah-wajah trauma, luka lahir dan batin. Budi sendiri mengaku kapok tidur, karena takut ketika tidur ada gempa susulan dan tak sempat menyelamatkan keluarganya. ”Saya masih kebayang-bayang jeritan Ibu dan adik saya.”
Lalu kenapa kami dan banyak lagi kelompok-kelompok seperti kami musti ikut terjun juga? Seperti grup temen saya Kartini yang membantu desa kenalannya di pelosok Imogiri atau grupnya Fikri yang membantu desa tukang batu kenalannya di Pundong atau grup adik saya yang membantu desa teman kuliah mereka di Jetis dan Pundong. Tak lain karena bantuan cukup lambat sampai secara merata hingga pelosok-pelosok karena terhambat birokrasi. Mungkin minggu ini baru sampai tingkat kecamatan, baru minggu kedua atau ketiga baru mulai merata. Mudah-mudahan bantuan segera lancar. Sementara menunggu itu kan mereka yang di pelosok tetap butuh makan... dan butuh perhatian untuk menyembuhkan luka hati.
Penyembuhan mereka memerlukan waktu, dan tentunya memerlukan bantuan dari kita semua. Insya Allah niat baik dan tindakan kita-kita yang masih lebih sehat daripada mereka dapat sedikit meringankan penderitaan. Saya pengen ngucapin banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung bagi para korban tersebut. Semoga kita semua senantiasa diberi kesabaran dan ketabahan, amien....
No comments:
Post a Comment