Di jaman yang sering disebut-sebut era informasi ini, bisa dikatakan kita bisa mendapatkan informasi dari mana saja. Dari buku, dari koran, dari majalah, dari tabloid, dari radio, dari tivi, dari internet, maupun jenis pertukaran informasi cara konvensional yaitu dari cerita mulut ke mulut. Yah, cara konvensional ini tentu saja paling berlaku karena tidak setiap orang bisa mendapat akses yang sama akan informasi. Tingkat kepercayaan seseorang terhadap informasi yang diterimanya juga berbeda-beda, tergantung tingkat subjektifitas dan objektifitas seseorang.
Seperti misalnya, menanggapi isu adanya tsunami setelah gempa di Jogja tanggal 27 Mei 2006 yang lalu. Masyarakat yang tinggal di pedesaan maupun di kota, yang nota bene semestinya mendapat informasi lebih banyak dari pada yang tinggal di pedesaan, ikut tersulut dan panik. Tentu saja, setelah selama beberapa bulan pasca bencana tsunami di Aceh, hampir tiap orang terpapar oleh tayangan di televisi betapa dahsyatnya air bah yang datang itu. Informasi dari televisi itu telah membombardir pikiran dan alam bawah sadar masyarakat. Mereka dibanjiri informasi berupa tayangan kengerian, berupa gambar peristiwa, yang sepanjang ingatan saya tanpa banyak disertai penjelasan yang memadai kondisi geografis wilayah Aceh yang terkena tsunami (± sampai jarak 5 km dari pantai), tanda-tanda datangnya tsunami, maupun hal-hal yang dapat menyebabkan tsunami. Di bangku sekolah pun informasi tentang berbagai bencana alam yang mungkin terjadi di Indonesia tidak tercantum di buku diktat, setidaknya di buku-buku dulu saya punya jaman sekolah. Informasi yang diperoleh menjadi tidak seimbang. Yang kemudian terjadi adalah kurang informasi dan salah informasi. Sumber informasi yang beredar kebanyakan adalah ”katanya....” Masih bagus lah kalau mereka-mereka yang tinggal di kota atau suka membaca atau browsing di internet sehingga punya informasi lebih. Itu pun tak menjamin seseorang untuk tidak tersulut isu. Melihat kepanikan orang lain yang berlari-lari, bukan tak mungkin secara seketika kita akan terbawa arus kepanikan tersebut.
Itu hal yang sangat mungkin karena sebenarnya tak hanya rakyat Aceh, tapi seluruh masyarakat mengalami trauma yang dalam atas bencana tsunami di Aceh, yang belum tersembuhkan karena kurangnya informasi yang diperoleh. Sehingga selain penyembuhan secara psikologis, secara tindakan nyata perlu diberikan informasi yang benar, baik secara formal melalui jalur pendidikan maupun informal yaitu melalui media massa.
Hal yang lain misalnya dengan gegap gempitanya Pemerintah dengan pengembangan Biofuel. Sungguh hal ini merupakan hal yang amat disyukuri bahwa pemerintah telah melangkah untuk menghidupkan energi alternatif. Jika kemudian hampir tiap hari muncul berbagai berita di banyak media cetak dan televisi tentang hal ini, tentunya ini hal yang menggembirakan. Akan tetapi, hal tersebut sekali lagi dapat menjadi bentuk kebanjiran informasi yang berujung pada kurang informasi dan miss-informasi, karena kurang berimbangnya informasi yang diperoleh masayrakat. Ketika ada beberapa ahli maupun pejabat pemerintah dan perusahaan mulai sering berbicara di koran dan tivi, tak jarang kontroversi pun terjadi. Orang bisa dengan mudah mengatakan ”A baik dan B jelek”, atau ”B lebih baik dari C jadi pakailah B”, atau ”saya sudah pakai A dan mobil saya tidak rusak, jadi A yang paling baik”. Lalu masyarakat yang mendengar para pejabat dan beberapa ilmuwan bicara jadi beramai-ramai ingin terjun ke dalam bisnis tersebut. Masih bagus kebanyakan dari mereka, yang bisa jadi sedang ber-euforia itu, memutuskan untuk memcari informasi dahulu dengan bertanya sana sini. Informasi yang didapat pun bisa bermacam-macam, tergantung bertanya kepada siapa. Lalu mana kah yang benar? Bisa jadi semua benar, jika sudah didukung dengan pembuktian dan data-data yang diakui kebenarannya. Karena setiap orang memiliki subjektifitas dan objektifitasnya masing-masing, yang tanpa pembuktian yang ilmiah, kejujuran terhadap hasil, dan analisa yang baik terhadap informasi yang diperoleh, semua kata-kata menjadi tak berarti.
Barangkali, itu kemudian berpulang pada bagaimana kita menyikapi sebuah informasi yang datang pada kita, plus kemauan kita untuk mencari informasi, yang benar :) Seperti kata seorang Profesor menyikapi berbagai kontroversi yang sahut-menyahut tersebut, ”Only God we trust, the rest should bring the data.”
Terima kasih buat Bapak (dan seseorang :)), yang membuat saya merenung tentang objektifitas, buat Pak Wahyudi yang pernah ngajari saya untuk mencari jawaban, Pak Tirto atas wejangannya untuk jujur terhadap hasil, dan Pak Ari yang selalu bertanya, “Ini refference-nya dari mana, Ran?” Dear Sirs, saya masih terus belajar pak……
No comments:
Post a Comment